Hukum Penjelasan Makan Daging Anjing .
Saat ini, begitu seringnya kita menyaksikan dan mendengar orang yang memelihara anjing. Bahkan sebagian orang memperlakukannya dengan istimewa melebihi manusia, tidur bersamanya dan diberi makanan melebihi makanan manusia. Padahal, memelihara anjing tanpa satu kebutuhaan, seperti untuk menjaga rumah, kebun, hewan ternak dan berburu tidak diperbolehkan. Hal ini dijelaskan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
مَنِ اقْتَنَى كَمبًا
إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ كَلْبَ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمِ
قِيْرَاطُ
Barangsiapa memelihara
anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak dan anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth (satu qirâth
adalah sebesar gunung Uhud).” [1]
‘Abdullâh mengatakan
bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan, “Atau anjing untuk
menjaga tanaman.”
Juga sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَيُّمَا أَهلِ دَارٍ
اتَّخَذُواكَلْبُا إِلاَّ كَلْب مَا شِيَةٍ أَوْ كَلبَ صَا ئِدٍ نَقَصَ مِنْ
عَمَلِهِمْ كُلَّ يَوْمٍ قِيْرَاطَانِ
Penghuni rumah mana saja
yang memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing
untuk berburu, maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth.[2]
Demikian juga Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا
فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيْرَاطُ إِلاَّ كَلْبَ حَرْثٍ
اَوْ مَا شِيَةٍ
Barangsiapa memelihara
anjing, maka amalan shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu
qirâth, selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak. [3]
Ibnu Sîrîn rahimahullah
dan Abu Shâleh rahimahullah mengatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan.
إِلاَّ كَلْبَ غَنَمٍ
أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ
Selain anjing untuk
menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu
Abu Hâzim rahimahullah
mengatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَا
شِيَةٍ
Selain anjing untuk
berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.” [HR. al-Bukhâri]
Dari Ibnu ‘Umar,
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنِ اقْتَنَى كَمبًا
إِلاَّ كَلْبَ مَا شِيَةٍ أَوْ ضَارِى نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْم
قِيْرَاطَانِ ٍ
Barangsiapa memelihara
anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau pemburu, maka amalannya
berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth (satu qirâth adalah sebesar gunung
Uhud).” [HR. Muslim 2940]
Iman An-Nawâwi
rahimahullah memandang haramnya memelihara anjing dengan membuat bab dari kitab
Riyâdhush-Shâlihîn, bab Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu,
Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman. [4]
NAJISNYA AIR LIUR ANJING
Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ
فِي إِنَاءِ أَحَدِ كُم فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Bila seekor anjing minum
dari wadah milik kalian, maka tumpahkanlah, lalu cucilah 7 kali. [5]
Dalam riwayat lain:
طَهُروْرُ إِنَاَءِ
أَحَدِكُمْ إَِّا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
اُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “
Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7
kali, salah satunya dengan tanah” [HR Muslim no. 420 dan Ahmad 2/427]
Jumhur ulama berpendapat
bahwa air liur anjing itu najis, bahkan sebagian Ulama memandang levelnya
adalah mughallazhah (najis yang berat). Sebab, untuk mensucikannya harus dengan
air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.
Prof. Thabârah dalam
kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan, “Di antara hukum Islam bagi perlindungan
badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mu’jizat ilmiyah yang
dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern. Kedokteran modern menetapkan
bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, karena anjing
mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusia dan menjadi sebab
manusia terjangkit penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah
ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehingga wajib
menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan makanan dan minuman
manusia.[6]
HUKUM JUAL BELI ANJING
Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil penjualannya pun tidak halal, baik itu anjing penjaga, anjing untuk berburu atau lainnya.[7] Yang demikian itu didasarkan pada apa keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil penjualannya pun tidak halal, baik itu anjing penjaga, anjing untuk berburu atau lainnya.[7] Yang demikian itu didasarkan pada apa keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
أََنَّ رَسُو لَاللَّهِ
صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ
وَحُلوَانِ الْكَا هِنِ
Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan
upah dukun. [8]
HUKUM MEMAKAN ANJING
Mayoritas Ulama mengharamkan makan daging anjing, walaupun disembelih secara syar’i, apalagi bila dibunuh dengan cara-cara yang melanggar syari’at. Ada beberapa argumen yang disampaikan mereka berkenaan dengan keharaman daging anjing ini.
Mayoritas Ulama mengharamkan makan daging anjing, walaupun disembelih secara syar’i, apalagi bila dibunuh dengan cara-cara yang melanggar syari’at. Ada beberapa argumen yang disampaikan mereka berkenaan dengan keharaman daging anjing ini.
1. Anjing termasuk
golongan As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya.
Padahal Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dalam
beberapa hadits, di antaranya:
a). Hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:
كُلُّ ذِينَابٍ مِنْ
السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامُ
Semua yang memiliki gigi
taring dari hewan buas maka memakannya haram. [9]
b). Hadits Ibnu Abbâs
Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
أََنَّ رَسُو لَاللَّهِ
صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَن أَكْلِ كُلِّ ذِيْنَابٍ مِنْ السِّبَاعِ
ِ
Sesungguhnya Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan semua hewan buas yang bertaring.
[10]
Berdasarkan
hadits-hadits ini, maka harimau, singa, serigala, dan anjing haram dimakan.
2. Adanya larangan
memanfaatkan hasil penjualan anjing, menunjukkan keharaman mengkonsumsi
dagingnya, sebagaimana disampaikan dalam hadits yang berbunyi:
إَنَّ رَسُو لَاللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ
وضحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan
upah dukun. [11]
Jika harganya terlarang,
maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللَّهَ إِذَا
حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِم ثَمَنَهُ
Sesungguhnya jika Allah
mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu maka (Allah) haramkan harganya
atas mereka”. [12]
3. Ayat yang menerangkan
pembatasan hewan yang diharamkan yaitu firman Allah Azza wa Jalla :
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا
أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا
عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah, “Tiadalah
aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor –
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam
keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.[al-An’âm/6:145]
Adalah Makiyah, yang
turun sebelum hijrah, bertujuan untuk membantah orang-orang jahiliyah yang
mengharamkan al-Bahîrah, as-Sâ‘ibah , al-Washîlah dan al-Hâm. Kemudian setelah
itu Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya mengharamkan banyak hal, seperti daging
keledai, daging bighâl, dll. Termasuk di dalamnya semua hewan buas yang
bertaring.
Ayat di atas tidak lain
hanyalah memberitakan bahwa tidak ada di waktu itu yang diharamkan kecuali yang
disebutkan dalam ayat tersebut. Kemudian baru turun setelahnya wahyu yang
mengharamkan semua hewan buas yang bertaring, sehingga wajib diterima dan
diamalkan.
Syaikh Prof. DR. Shâlih
bin ‘Abdillâh al-Fauzân merâjihkan pengharaman semua hewan buas yang bertaring,
beliau menukilkan pernyataan Syaikh Muhammad al-Amien asy-Syinqiti yang
menyatakan, “Semua yang sudah jelas pengharamannya dengan jalan periwayatan
yang shahîh dari al-Qur ‘ân atau Sunnah, maka hukumnya haram dan ditambahkan
empat yang diharamkan dalam ayat tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan
al-Qur‘ân, karena sesuatu yang diharamkan di luar ayat tersebut dilarang setelahnya.
Memang pada waktu turunnya ayat itu, tidak ada yang diharamkan kecuali empat
tersebut Pembatasannya sudah pasti benar ada sebelum pengharaman yang lainnya.
Apabila muncul pengharaman sesuatu selainnya dengan satu perintah yang baru,
maka hal itu tidak menafikan pembatasan yang pertama. [13]
Kebenaran pendapat yang
mengharamkan ini dikuatkan juga dengan tinjauan medis bahwa anjing memiliki
cacing pita yang berbahaya bagi manusia. Ditambah lagi air liur anjing yang
najis, sehingga setidaknya anjing meminum air liurnya yang najis dan
mempengaruhi dagingnya.
Padahal Rasululâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita memakan daging hewan yang
mengkonsumsi najis dan kotoran, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:
نَهَى رَسُوْلُاللَّه
صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَلَةِ وَأَلْبَانِهَا
Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang makan hewan al-Jalâlah (pemakan najis dan kotoran)
dan susunya. [14]
Dengan demikian sangat
jelas sekali keharaman daging anjing. Apalagi, realitanya banyak orang yang
memakan daging anjing yang tidak disembelih secara syar’i. Semoga ini semua
dapat membantu menjelaskna permasalahan yang selama ini muncul di masyarakat
mengenai keharaman anjing.
REFERENSI
1) Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhus-Shâlihîn, Sâlim bin Ied al-Hilâli, Dâr Ibnul-Jauzi.
2) Kitâbul-Ath’imah Syaikh Shâlih bin Fauzân, Maktabah al-Ma’ârif.
3) Shahîh Fikih Sunnah, Abi Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, Maktabah Taufîqiyah, Mesir
4) Taudhîhul-Ahkâm Syarh Bulûghul-Marâm, Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân Ali Bassâm, Maktabah al-Asadi, Mekah.
1) Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhus-Shâlihîn, Sâlim bin Ied al-Hilâli, Dâr Ibnul-Jauzi.
2) Kitâbul-Ath’imah Syaikh Shâlih bin Fauzân, Maktabah al-Ma’ârif.
3) Shahîh Fikih Sunnah, Abi Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, Maktabah Taufîqiyah, Mesir
4) Taudhîhul-Ahkâm Syarh Bulûghul-Marâm, Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân Ali Bassâm, Maktabah al-Asadi, Mekah.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim no. 2941
[2]. HR. Muslim no. 2945
[3]. HR Muslim no. 2949
[4]. lihat BahjatunNâzhirîn 3/187
[5]. HR al-Bukhâri no 418, Muslim no. 422.
[6]. Taudhîhul-Ahkam, Syaikh Ali Bassâm, 1/137
[7]. Fatawâ al-Lajnah Ad-Dâ-imah Lil Buhûts al-Ilmiyah Wal Iftâ‘, Pertanyaan ke-1 dari Fatwa no. 6554
[8]. Diriwayatkan oleh Imam, Ahmad 4/118-119, 120, al-Bukhâri 7/28 dan Muslim no. 1567.
[9]. HR Muslim 1933
[10]. HR Muslim no. 1934
[11]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri 3/43 dan Muslim 3/198 no 1567 serta Abu Dâwud 3/753 nomor 3481. at-Tirmidzi 3/439
dan an-Nasâ-i 7/309 no. 4666
[12]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/247, 293 dan 322 dan Abu Dawud no.3488
[13]. Kitâbul-Ath’imah hlm 56-60.
[14]. HR at-Tirmidzi no. 1747.
_______
Footnote
[1]. HR. Muslim no. 2941
[2]. HR. Muslim no. 2945
[3]. HR Muslim no. 2949
[4]. lihat BahjatunNâzhirîn 3/187
[5]. HR al-Bukhâri no 418, Muslim no. 422.
[6]. Taudhîhul-Ahkam, Syaikh Ali Bassâm, 1/137
[7]. Fatawâ al-Lajnah Ad-Dâ-imah Lil Buhûts al-Ilmiyah Wal Iftâ‘, Pertanyaan ke-1 dari Fatwa no. 6554
[8]. Diriwayatkan oleh Imam, Ahmad 4/118-119, 120, al-Bukhâri 7/28 dan Muslim no. 1567.
[9]. HR Muslim 1933
[10]. HR Muslim no. 1934
[11]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri 3/43 dan Muslim 3/198 no 1567 serta Abu Dâwud 3/753 nomor 3481. at-Tirmidzi 3/439
dan an-Nasâ-i 7/309 no. 4666
[12]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/247, 293 dan 322 dan Abu Dawud no.3488
[13]. Kitâbul-Ath’imah hlm 56-60.
[14]. HR at-Tirmidzi no. 1747.
Sumber: https://almanhaj.or.id/3119-daging-anjing-halal.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar