Faktor yang mendukung kemenangan dalam perang ada dua. Pertama, faktor material sebagaimana disinggung dalam ayat:
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi . . . .” (QS. al-Anfal/8: 60).
Yang dipersiapkan dalam konteks ayat tersebut adalah kemampuan
strategi, fisik, persenjataan, amunisi, dll. yang mendukung kekuatan
perang.
Dapat menjadi catatan bahwa faktor pertama ini banyak menyita
perhatian manusia. Sikap yang sesungguhnya menunjukkan sempitnya wawasan
dan lemahnya iman kepada janji-janji Allah. Sebab, sejatinya kemenangan
itu bukan akibat banyaknya personel dan persenjataan, tapi karunia dari
Allah yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Hanya Allah satu-satunya yang
menetapkan kehancuran bagi siapa yang Dia kehendaki betapa pun kedudukan
orang itu.
Oleh karena itu, faktor kemenangan tidak boleh dijadikan andalan.
Faktor material tidak lebih sebagai pendukung agar kita lebih istiqamah
dalam kebenaran. Adapun kemenangan hakiki maka dia adalah karunia dari
Allah semata (QS. Ali Imran: 126).
Allah Ta’ala menegur sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang notabene
sebaik-baik generasi, yang kagum terhadap banyaknya kuantitas mereka
pada perang Hunain. Demikian tinggi rasa kagum tersebut sehingga ada
yang berkata, “Kita tidak akan kalah hari ini akibat sedikitnya jumlah personel.”
Akibatnya, mereka justru menderita kekalahan di awal perang. Sebagian
besar kaum Muslim lari dari medan perang akibat beratnya tekanan musuh.
Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kokoh bertahan. Beliau tidak mundur. Beliau berdoa:
اللَّهُمَّ أَنْتَ عَضُدِي وَأَنْتَ نَصِيرِي بِكَ أَحُولُ وَبِكَ أَصُولُ وَبِكَ أقاتل
“Ya Allah, Engkau tempatku bersandar dan Engkau yang kujadikan
Penolongku. Dengan (pertolongan)-Mu aku mampu berupaya dan mengalahkan
(musuh), dan dengan (pertolongan)-Mu aku berperang.”
Setelah kekaguman tersebut luntur dan mereka sadar akan kelemahan
pribadi mereka, Allah pun menurunkan ketenangan dan tentara langit untuk
membantu mereka. Akhirnya, kemenangan pasukan kaum Muslim dapat diraih.
Kedua, faktor pendukung kemenangan yang bersifat non-materi
berupa kekuatan tawakkal kepada Allah dan munajat yang tulus untuk
mendapatkan pertolongan-Nya. Faktor kedua ini sangat kuat dari manusia
yang dalam kondisi lemah dan sulit, yang kondisinya itu menjadikan dia
sadar bahwa penolong dan pemberi karunia semata-mata adalah Allah Subhanahu Wata’ala.
Kelemahan dan kesempitan yang mereka rasakan menjadikan hati mereka
tunduk kepada kebesaran Allah dan hanya berharap kepada pertolongan
Allah semata.
Ketundukan inilah yang berpotensi mengundang datangnya pertolongan
Allah, hal yang kerap luput dari perhatian manusia lain yang serba
berkecukupan. Bahkan Allah mungkin memudahkan urusan dan menolong
manusia yang berkecukupan lewat peran kaum yang lemah.
Rahasianya, Allah Ta’ala memiliki tentara di kerajaan-Nya
yang meliputi langit dan di bumi. Kualitas dan kuantitas tentara Allah
tersebut bersifat ghaib, tidak diketahui kecuali oleh-Nya. Allah
mengendalikan mereka sesuai dengan ketetapan-Nya semata (QS.
al-Muddatstsir/74: 31).
Yang menarik, di antara tentara Allah tersebut justru adalah
orang-orang lemah, penderita sakit, cacat dan kaum tertindas. Persoalan
ini tentu bisa memancing perdebatan andai tidak ada nash shahih yang
membuktikannya. Maka, berikut ini dikemukakan dua nash yang menunjukkan
hal tersebut.
Satu, hadits riwayat Imam Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa al-Siyar, Bab Man Ista’ama bi al-Dhu’afa wa al-Shalihin fii al-Harb. Hadits tersebut diriwayatkan dari Mush’ab ibn Saad yang berkata, “Saad
ibn Abi Waqqash radhiyallahu anhu menyangka dirinya memiliki kelebihan
atas orang selainnya. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
‘Bukankah kalian mendapatkan pertolongan dan rezeki (dari Allah)
lantaran orang-orang yang lemah di antara kalian?!”
Dalam hadits ini, Nabi mengingatkan Saad agar senantiasa tawadhu serta tidak memandang sebelah mata saudaranya sesama Muslim.
Baca Juga Agama itu Adalah Sebagai Nasehat Untuk Siapa Saja ...?
Sebenarnya, kelebihan apakah yang disangka Saad menjadikannya merasa di atas orang lain itu? Mari kita telusuri lewat jalur yang lain dari hadits tersebut. Dalam riwayat Abd al-Razzaq, Saad berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang seseorang yang menjaga dan membela satu kaum. Apakah dia akan mendapatkan bagian yang sama dengan bagian orang lain?”
Baca Juga Agama itu Adalah Sebagai Nasehat Untuk Siapa Saja ...?
Sebenarnya, kelebihan apakah yang disangka Saad menjadikannya merasa di atas orang lain itu? Mari kita telusuri lewat jalur yang lain dari hadits tersebut. Dalam riwayat Abd al-Razzaq, Saad berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang seseorang yang menjaga dan membela satu kaum. Apakah dia akan mendapatkan bagian yang sama dengan bagian orang lain?”
Dari redaksi ini, sebagaimana dijelaskan al-Hafidz Ibn Hajar, dapat dipahami bahwa kelebihan yang dimaksud ialah jatah ghanimah rampasan perang. Maka Nabi menjelaskan bahwa jatah ghanimah
seluruh anggota pasukan sama rata. Sebab, bila anggota yang kuat unggul
dengan keberaniannya maka anggota yang lemah unggul dengan doa dan
keikhlasannya.
Pertanyaan Nabi dalam redaksi hadits di atas bukan untuk meminta
jawaban, tapi untuk penegasan. Dengan kata lain, pertolongan dan rezki
yang didapatkan adalah merupakan berkah orang-orang lemah.
Dua, hadits riwayat Imam Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Darda radhiyallahu anhu yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
أَبْغُونِي ضُعَفَاءَكُمْ، فَإِنَّكُمْ إِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ
“Dapatkanlah ridha dariku melalui orang-orang lemah di antara
kalian, karena sesungguhnya kalian hanya mendapatkan rezeki dan
pertolongan akibat orang-orang lemah di antara kalian.”
Maknanya, mendekatlah kalian kepadaku dengan bergaul kepada
orang-orang lemah, dengan memperhatikan kebutuhan dan bersikap baik
kepada mereka. Sebab, merekalah yang lebih berhak duduk dan dekat
denganku.
“Kalian hanya mendapatkan rezeki dan pertolongan akibat orang-orang lemah di antara kalian” artinya
kalian diberi kemampuan untuk memanfaatkan rezeki yang kami keluarkan
dan terbantu melawan musuh-musuh kalian sehingga terhindar dari petaka
karena adanya orang-orang lemah di antara kalian atau karena perhatian
kalian kepada mereka atau karena berkah doa-doa mereka.
Hal ini karena orang-orang lemah itu lebih ikhlas dalam berdoa dan
lebih merendah kepada Allah dalam ibadah mereka. Kondisi yang lahir
akibat bersihnya hati mereka dari ketergantungan kepada perhiasan dunia
yang menipu.
Dari pemahaman inilah sehingga sebagian ulama menganjurkan untuk
mengikutkan orang tua dan anak-anak dalam penyelenggaraan shalat Istisqa
meminta hujan. Alasannya, orang lemah yang sadar akan kelemahannya
tidak akan mengandalkan dirinya dan hatinya lebih tulus bermunajat
kepada Allah. Keadaan ini akan mengundang perkenan Allah untuk memenuhi
permohonan mereka. Betapa banyak kelompok yang kecil mengalahkan
kelompok yang besar dengan izin Allah Ta’ala. Berbeda dengan
orang yang merasa diri kuat sehingga mengandalkan kemampuannya, Allah
menjadikan dia bersandar pada dirinya sehingga menjadi bumerang baginya.
Yang dimaksud sebagai kaum lemah dalam konteks ini ialah lemah secara
fisik atau mental atau kemampuan ekonomi. Tiga golongan tersebut
tercakup dalam nash-nash syariat.
Mungkin ada yang berpikir bahwa yang dimaksud dengan orang lemah
terbatas kepada orang-orang miskin. Sebab, hanya golongan ini yang mampu
melakukan ibadah fisik semacam doa, shalat, ibadah dengan ikhlas; beda
dengan dua golongan lainnya (riwayat Nasa’i). Namun, anggapan ini dapat
ditepis bahwa ibadah fisik tersebut tidak harus dilakukan langsung oleh
orang sakit. Keluarga dan orang-orang yang merawatnya mampu melakukan
ibadah-ibadah fisik tersebut. Betapa banyak keluarga orang sakit yang
lebih khusyu’ dalam doanya daripada orang sakit itu sendiri.
Bisa jadi muncul anggapan adanya kontradiksi antara nash-nash di atas
dengan nash-nash yang mengandung perintah untuk berikhtiar dan
persiapan untuk menghadapi musuh. Namun, sesungguhnya tidak ada
kontradiksi di antara nash-nash tersebut. Sebab, makna yang komprehensif
terhadap nash-nash tersebut adalah agar kaum Muslim memaksimalkan upaya
persiapan dan mengumpulkan kekuatan kapan saja kesempatan untuk itu
ada.
Makna yang komprehensif ini tertuang dalam sebuah ayat yang berbunyi:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. al-Hijr/15: 99).
Maksud dari ayat ini ialah teruslah melakukan taqarrub kepada Allah pada segala waktu dengan berbagai bentuk ibadah, baik itu berupa ibadah badaniyah atau ibadah maaliyah harta atau ibadah qalbiyah hati. Sehingga engkau berada dalam kondisi tersebut sampai maut datang menjemput. Demikian itulah kondisi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, selalu dalam beragam ibadah hingga akhir hayat beliau di dunia ini.
Sejalan dengan makna ini yaitu hadits Nabi:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلى اللَّه مِنَ
الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كلٍّ خَيْرٌ. احْرِصْ على ما يَنْفَعُكَ،
واسْتَعِنْ بالله ولا تَعْجَز
“Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah
daripada orang mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan.
Berusahalah untuk mendapatkan segala hal bermanfaat bagimu, mohon
pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah.”
Perintah untuk berusaha mewujudkan segala yang bermanfaat mencakup
manfaat duniawi dan ukhrawi. Usaha tersebut harus maksimal, dengan penuh
semangat, kongkret, dan terencana.
Perintah untuk meminta pertolongan Allah Ta’ala bermakna
bersandar penuh kepada pertolongan-Nya dalam segala keinginan dengan
diiringi kepercayaan penuh bahwa Allah akan mewujudkan keinginannya.
Adapun dalam kondisi Muslim tidak berdaya untuk mengusahakan
faktor-faktor materi, karena sakit dan sejenisnya, maka dia merendahkan
diri kepada Allah dengan memohon dan mengakui kekuasaan-Nya.
Ringkasnya, hati dan anggota tubuh seorang hamba sejati sepenuhnya
berserah diri kepada Allah. Anggota tubuh berusaha maksimal terhadap
faktor-faktor fisik dan material. Sedangkan hati berupaya mengundang
ridha dan pertolongan dari Allah dengan berharap penuh dan yakin atas
pertolongan-Nya. Bila upaya untuk faktor-faktor fisik material ini telah
maksimal, maka hendaknya hatinya bermunajat kepada Allah. Niscaya Allah
Ta’ala akan memenuhi janji-Nya. Bukan itu saja, bisa jadi hatinya akan menjadi sumber hikmah.
Akhirnya, penting untuk mengingatkan orang-orang lemah dan keluarga
mereka tentang karunia Allah kepada mereka. Sehingga kelompok ini tidak
mengecilkan peran mereka. Sebab, kita tahu bahwa doa kelompok lemah ini
tidak kalah efektifnya dibandingkan dengan senjata rudal dan tank.
Ya Allah, perbaikilah seluruh urusan kami dan janganlah Engkau buat
kami bersandar kepada diri kami atau siapa pun makhluk-Mu sedikit pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar