وَأَوْفُوا بِعَهْدِ
اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ
تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا ۚ إِنَّ
اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ *وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ
غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ
دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ ۚ
إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ ۚ
“Dan tepatilah perjanjian dengan
Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu
seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal
dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah
(perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu
golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.
Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu…” (QS. An-Nahl; 91-92)
Dalam ayat di atas,
Allah hendak mengistimewakan umat ini sebagai umat yang tidak pernah
berkhianat. Selalu menempati janji dengan siapa pun juga. Sifat ini
telah dibuktikan secara nyata oleh generasi para sahabat. Mereka
berhasil menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang berpegang teguh dengan
janji yang mereka ucapkan, baik janjinya dengan Allah sebagai Sang
Pencipta maupun dengan sesama manusia.
Rasulullah SAW menjadi sosok teladan yang selalu menginspirasi hidup
mereka. Lewat Perjanjian Hudaibiyah, beliau mencontohkan bagaimana
seorang muslim harus berkomitmen terhadap perjanjian. Meskipun membawa
resiko yang amat berat, Rasulullah tetap setia dengan kesepakatan yang
dijalin.
Ketika Perjanjian Hudaibiyah ditandatangani oleh Nabi SAW, banyak
para sahabat yang protes. Sebab, kesepakatan tersebut tidak berimbang
dan terlihat merugikan kaum muslimin. Di antara hasil kesepakatannya
adalah orang-orang kafir yang telah masuk Islam dan berhijrah, harus
dikembalikan ke Makkah dan orang Islam yang murtad dari Islam lalu lari
ke Makkah tidak dikembalikan ke kaum Muslimin.
Duka dan tekanan yang mendalam efek dari perjanjian tersebut dialami
langsung oleh Abu Bashir dan Abu Jandal, dua sahabat Nabi SAW yang
kemudian kisahnya menjadi perhatian. Sebelum perjanjian itu disahkan,
seorang Abu Jandal ra yang telah ditahan, disiksa, dan dirantai oleh
kaum kafir karena keislamannya, berulangkali dia mencoba hijrah bertemu
dengan Nabi SAW. Ia berharap dapat bergabung dengan kaum muslimin dan
terbebas dari siksaan yang dialaminya.
Namun atas dasar perjanjian tersebut, Abu Jandal terpaksa harus
kembali ke Makkah. Saat itu, dalam keadaan yang cukup sedih, ia berkata
kepada kaum Muslimin, “Aku datang untuk masuk Islam, banyak penderitaan yang aku alami. Sayang, aku akan dikembalikan lagi.” Nabi SAW hanya mampu menghibur hatinya dan menyuruhnya tetap bersabar. Beliau bersabda, “Dalam waktu dekat, Allah akan membukakan jalan bagimu.”
Berikutnya, setelah selesai perjanjian Hudaibiyah disahkan, Abu
Bashir melarikan diri ke Madinah setelah keislamannya. Orang-orang kafir
mengutus dua orang untuk membawanya kembali ke Makkah. Sesuai dengan
perjanjian, Nabi SAW mengembalikan Abu Bashir ra kepada mereka.
Abu
Bashir berkata, “Ya Rasulullah, aku datang setelah menjadi Muslim, dan
engkau kembalikan aku kepada kaum kafir?” Nabi SAW menasehatinya agar
bersabar, “Insya Allah, sebentar lagi Allah akan membukakan jalan
bagimu.” Akhirnya, dengan terpaksa Abu Bashir dikembalikan ke Makkah.
Demikianlah cara Nabi saw menanamkan karakter kepada para sahabatnya.
Apapun kesepakatannya, kaum muslimin harus menepatinya dengan baik.
Baik membawa kemaslahatan baginya ataupun tidak, perjanjian tidak boleh
diingkari. Sebab, karakter muslim yang disifati Allah Ta’ala adalah, “(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian,” (QS. Ar-Ra’d: 20)
Demikianlah karakter Umat Islam, mereka memenuhi janji bukan
semata-mata karena keuntungan yang didapatkan. Namun janji tersebut
mereka tunaikan demi mengharapkan ridha dari Allah semata. Sebab, dalam
Al-Quran, Allah Ta’ala tegaskan kepada Nabi Muhammad SAW serta umatnya
dengan berfirman:
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَاءٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari
suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan
cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berkhianat.” (QS. Al-Anfal: 58)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa makna, “Maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” ialah dengan cara yang hati-hati. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat,” Yakni sekalipun berkhianat terhadap orang-orang kafir, Allah juga tidak menyukainya. (Tarsir Ibnu Katsir, 4/80)
Komitmen Kuat Generasi Sahabat
Komitmen dalam menepati janji adalah karakter yang harus dimiliki
oleh setiap muslim. Sebab, berkhianat merupakan sifat munafik yang
bertentangan dengan iman seorang muslim. Dalam hal ini, lagi-lagi para
sahabat menjadi profil teladan yang harus kita tiru. Contoh yang pernah
ditunjukkan oleh Nabi SAW, berhasil menjiwai karakter mereka. Bagaimana
pun kesepakatan yang terjalin, dengan siapa pun itu, bila kesepakatan
tersebut tidak melanggar hak-hak Allah Ta’ala maka wajib ditepati.
BACA Juga Keteladaan Istri Rosullullah Aisyah ( Ummul Mu'minin ) dan Keutamaan Beliu
Contoh komitmen para salaf dalam memegang janji atau kesepakatan, terlihat jelas dalam hubungan muamalah yang mereka bangun. Jika sudah membangun komitmen, maka mereka akan memenuhinya tidak memandang perbedaan etnis, ras, golongan atau bahkan agama sekali pun. Komitmen dalam memegang kesepakatan harus selalu dijaga. Di antara bentuk komitmen tersebut pernah dicontohkan oleh salah satu sahabat agung Abu Ubaidah bin Jarrah saat memimpin perang melawan Romawi.
Sejarawan Islam mencatat, Ketika Abu Ubaidah bin Jarrah berhasil
membebaskan Syam, sebagian penduduknya masih tetap berpegang teguh
dengan agama Nasrani. Sebagai konsekuensinya, mereka harus membayar jizyah
(upeti) sebagai jaminan keamanan hidup di bawah pemerintahan Islam.
Namun ketika keamanan itu mulai terancam, Abu Ubaidah segera
memerintahkan pasukannya untuk mengembalikan jizyah yang telah mereka pungut.
Dalam kitab Al-Kharaj, Qadhi Abu Yusuf mengisahkan bahwa suatu ketika
Abu Ubaidah bin Jarrah mendapat informasi bahwa Romawi telah menyatukan
para tentara untuk menyerang umat Islam dengan jumlah yang sangat besar
dan belum pernah terlihat sebelumnya. Kemudian, beliau memerintahkan
para pemimpin di daerah Syam untuk mengembalikan jizyah serta apa saja yang mereka ambil dari Ahlul Kitab.
Instruksi itu pun dilaksanakan dengan baik oleh para pemimpin Syam, dan mereka berkata kepada Ahlul Kitab, “Kami
hanya ingin mengembalikan harta-harta kalian. Karena sesungguhnya,
pasukan Romawi telah melebihi jumlah kami. Dan sekarang, kami harus
segera pergi. Sebab, kami tak mampu lagi melindungi kalian.”
Merasa takjub dengan kata-kata yang sangat mengharukan ini, orang-orang Ahlul Kitab berseru, “Semoga
Allah mengembalikan kalian kepada kami. Dan semoga Allah menolong
kalian atas mereka. Sekiranya Romawi yang memimpin kami, tidak ada
satupun yang dapat mereka kembalikan setelah mereka mengambilnya dari
kami. Bahkan, mereka justru mengambil semua yang kami miliki,
sampai-sampai mereka tidak meninggalkan apa-apa untuk kami.”
Beginilah salah satu bentuk komitmen kuat yang dicontohkan oleh para
sahabat. Persoalan janji harus ditepati dengan baik. Tidak hanya janji
yang diikat dengan sesama manusia, namun janji yang pernah terucapkan
dengan Allah Ta’ala—melalui kalimat syahadat—juga mereka tunaikan dengan
sempurna. Sebab, demikianlah konsekuensi iman yang harus dijalani oleh
setiap muslim. Karena itu, sudah selayaknya bagi umat Islam hari ini
untuk terus menjiwai karakter tersebut. Agar kejayaan Islam yang pernah
ditunjukkan oleh para sahabat mampu terwujudkan kembali di muka bumi
ini.
Wallahu a’lam bissowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar